Busana “Paes
Ageng“ Keraton Yogyakarta dan Solo
Busana
dan tata rias paes ageng memiliki kesakralan dan makna filosofi
tersendiri
Sebanyak
23 pengantin wanita dengan menggunakan tata rias dan busana “Paes Ageng”
Keraton Yogyakarta dan Solo berjalan kaki di sepanjang Malioboro, Yogyakarta,
Selasa (26/6). Meski terik matahari menyengat, masyarakat sekitar sangat
antusias menonton peragaan busana dan tata rias kaum bangsawan keraton yang
sangat jarang dipertontonkan.
“Tata
rias dan busana paes ageng kedua keraton ini dimaksudkan untuk
mengenalkan budaya Jawa khususnya budaya Keraton. Selama ini, busana tata rias
keluarga Raja jarang dipertontonkan ke masyarakat umum," ujar Koordinator
Acara, Ryan Budi Nuryanto, di acara Parade Paes Ageng On the Street Nol KM
with FKY XXIV, Selasa (26/6)
Dengan
parade ini, ingin ditunjukkan bahwa busana dan tata rias kerajaan bisa
digunakan masyarakat umum. Paes ageng adalah busana yang memiliki kain
batik dengan warna dasar tertentu misalnya warna hijau Gadung Mlati, dengan
motif alas-alasan yang diprada (dilukis dengan air emas).
Terciptanya
busana pengantin ini diperkirakan setelah adanya Perjanjian Giyanti. Waktu itu,
seluruh gaya busana dari Keraton Surakarta Hadiningrat dibawa ke Keraton
Yogyakarta Hadiningrat sebagai hadiah dari Susuhan Paku Buwono II kepada
putranya, Pangeran Mangkubumi.
Hadiah
ini merupakan wujud penghargaan kepada Pangeran Mangkubumi yang telah menang
perang dengan Belanda dan berhasil memperoleh tanah kembali (saat ini menjadi
Yogyakarta). Pangeran Mangkubumi pun akhirnya diangkat menjadi Raja Yogyakarta
pertama dengan gelar Sri Sultan HB I.
Setelah
peristiwa itu, Keraton Surakarta Hadiningrat membuat desain (gagrak) baru
dengan pola bergaya barat. Biasanya busana baru ini kita kenal dengan nama beskap,
langenharjan, baju teni.
Pada
zaman dulu, busana dan tata rias paes ageng Keraton Yogyakarta dan Solo
hanya boleh dikenakan oleh kerabat raja. Untuk di Yogyakarta, baru pada masa
Sultan HB IX atau tahun 1940, masyarakat umum diijinkan memakai busana ini
dalam upacara pernikahan.
“Sampai
saat ini paes ageng sudah digunakan masyarakat Jawa pada umumnya saat
upacara pernikahan. Paes ageng ini memiliki makna filosofi sendiri yang
terkandung dalam setiap detail wajah, busana, dan aksesorinya,” ungkap Ryan.
Perias
Hanifa, mengungkapkan bahwa paes ageng memiliki makna sakral. Sebelum
merias pengantin wanita, perias wajib berpuasa sebelum menjalankan acara.
Tujuan utamanya adalah mengendapkan perasaan untuk membersihkan jiwa dan
menguatkan batin agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dan terhindar dari
petaka.
“Masyarakat
Jawa percaya bahwa kebersihan dan kekuatan batin juru rias akan menjadikan
pengantin yang diriasnya cantik, molek, dan bersinar,” katanya.
Salah
satu peserta paes ageng, Oky Sundari, mengaku bangga menggunakan busana
dan tata rias busana kerajaan ini. Ia berharap, dengan parade ini, masyarakat
lebih mengenal secara dekat dan detail busana dan tata rias paes ageng.
Tak hanya itu, dengan memperkenalkan busana ini, aset budaya Jawa akan tetap
terpelihara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar